Selasa, 30 Maret 2010

Musik Cepat dan Gairahnya Anak Muda

Oleh Riezky Andhika Pradana
Pada Senin, 16 November 2009

Musik adalah bahasa universal yang bisa dinikmati oleh semua orang, dari yang muda hingga yang tua. Musik juga menjadi media pelepasan hasrat bagi yang dilanda kasmaran maupun yang sedang patah hati. Selain berfungsi sebagai penghibur orang yang sedang dirundung kesedihan. Musik juga bisa dijadikan media apresiasi, ekspresi, kreasi bahkan menjadi media dalam menjalin tali silaturrahim antar individu, kelompok dan masyarakat.

anak-anak punk Blora

anak-anak punk Blora

Menurut “Musik Dahaga Jiwa”nya Kahlil Gibran:
Alunan nada nada musik adalah senandung lembut yang kerap hadir di lemba- lembah imajinasi. Jika nad- nada itu d lantunkan dalam melodi kesedihan, maka ia menghadirkan kenangan silam disaat gundah dan putus asa. Tapi jika dilantunkan pada saat hati senang, maka musik menghadirkan kenangan silam d saat damai dan bahagia, dan seterusnya…

Tradisi Cina mengatakan bahwa musik adalah nenek moyang pengobatan. Tujuan utama musik dalam Tiongkok kuno adalah untuk menyembuhkan orang-orang dari penyakit. Di sisi yang lain ada juga yang menjadikan musik sebagai alat politik. Tapi buat saya bermain musik adalah media untuk memuaskan hawa nafsu, baik itu nafsu amarah maupun nafsu birahi. Saya tidak pernah bermimpi punya cita-cita menjadi pemusik apalagi menjadi seleberiti dadakan seperti yang bermunculan setiap pagi di stasiun tv. Disela-sela workshop akumassa di berbagai kota, ritual menyewa studio rental untuk sekedar relaksasi ditengah-tengah jadwal yang padat memang sangat menyenangkan. Ritual ini dilakukan malam hari, bahkan tengah malam. Sewaktu di Padangpanjang, saya dan partisipan workshop disana rela berjalan sekitar dua kilometer lebih ditengah malam melewati persawahan, sungai dan hutan bambu untuk menuju studio musik sewaan.


Ketika workshop akumassa di Randublatung, kami pun melakukannya. Kota ini mungkin kurang diperhitungkan dalam kancah industri musik nasional, namun beberapa grup musik dari sini juga cukup dilirik oleh komunitas underground, khususnya komunitas punk. Para partisipan disini mayoritas menggemari musik ‘cepat’ seperti yang diusung oleh Marjinal, Bunga Hitam, Keparat dari scene lokal dan The Exploited, The Sex Pistols, Rancid dari mancanegara.

Kebetulan saya juga menggandrungi jenis musik bertempo cepat ini. Semasa duduk dibangku sekolah menengah pertama, saya dan kawan-kawan berburu dan membajak kaset/cd punk. Hanya beberapa yang original, terutama album-album keluaran Epitaph Record seperti Bad Religion, selebihnya seperti Dead Kennedys, The Misfits, The Ramones dan sebagainya harus puas dengan versi bajakannya.

interior Pink Studio

Di Randublatung saat ini hanya ada dua studio rental yaitu Pink Studio dan Illusion Studio. Sebelumnya ada empat, namun akibat perekonomian yang sangat lemah, yang dua lainnya terpaksa gulung tikar. Studio pertama yang beroperasi di Randublatung bernama Mahabharata, kemudian Studio Illusion yang terletak di Desa Pilang, sebelah timur Pasar Randublatung. Yang ketiga adalah Studio Revolt yang kini telah bangkrut bersamaan dengan Studio Mahabharata.

Sesuai dengan fungsi musik menurut definisi saya, malam itu saya ingin memuaskan nafsu saya. Lalu kami ramai-ramai berangkat menuju Pink’s Studio dengan mengendarai sepeda mini dan sepeda motor. Ketika masuk ruangan studio sederhana tersebut, saya langsung mengambil bass, alat musik yang tak begitu saya kuasai (kebetulan saya memang tidak menguasai jenis alat musik apapun) tapi minimal masih mengenal kunci C, G, A minor, F dan memainkannya dengan energi yang prima, maka itu sudah cukup untuk sebuah permainan “Rock n’ Roll”. Karena kesamaan selera, tembang-tembang lawas milik The Ramones pun dengan fasih kami mainkan. Single milik The Stone Roses juga sempat kami bawakan, namun band indie pop asal Manchester yang populer di akhir tahun 80’an ini kurang digemari disini. Kebetulan chord-nya mudah, dengan sekejap Yoga (gitar) dan Didien (drum) yang merupakan musisi asli Randublatung ini dengan mudah mencerna nada yang dikeluarkan oleh betotan bass saya, sedangkan Gelar seorang partisipan lain dari Jakarta asyik bergaya seperti Ian Brown.Pengalaman bermain band memang digandrungi oleh anak-anak muda dibelahan dunia manapun.



7






BALADA HARI RAYA

Fiksi | Dur: 18'00 | 2008

Sutradara: Riezky Andhika Pradana
Terinspirasi dari cerpen Karjan dan Kambingnya
karya Hamsad Rangkuti,
dalam
buku Sampah Bulan Desember,
Penerbit Buku KOMPAS, 2000


Sinopsis:

Pemandangan Stasiun Tanah Abang yang berseberangan
dengan
bongkaran dan kereta api ekonomi menyusuri
gubug-gubug penghuni
pinggiran rel kereta api dari pagi,
siang dan malam, menjadi saksi pertemuan

Karjan dan Parmin. Nostalgia mereka kemudian diwakili
oleh seekor kambing
yang diberikan Parmin kepada Karjan.
Petualangan Karjan membawa kambingnya

menyusuri masa lampau di sepanjang rel kereta api bermuara
pada
kesialan Karjan yang dituduh mencuri kambing.



komentar

Balada Hari Raya (18') Riezky Andhika
Pradana (2008)


film ini ngasih ide2 di kepala gue.. voice
over dan pengambilan gambar tanpa ada tokohnya itu bikin gue
mengangguk2 sendiri (kebayang gaya ini bisa gue pergunain
untuk ide cerita gue yang sederhana itu) ..
sayangnya dialognya datar dan baku..
entah kenapa ini yang dipilih sebagai bahasa pengantar
orang-orang yang didefinisikan sebagai orang menengah ke bawah.
dan kadang-kadang gue merasa berlebihan footage gambarnya,,,
(seperti sayang membuang --emang sih keren gambarnya
tapi tidak untuk apa dimasukkan kalau tidak menambah makna)
oh ya, pas adegan terakhir, kenapa kambingnya jadi ilang dan
ndak ada sih? kemana benda itu ... mmmm... tp tetep gue salut sama ide
vo-nya :)

CERPEN UNTUK FILEM

Rangka kerja CERPEN UNTUK FILEM merupakan salah satu kegiatan rangka kerja yang menjadi bagian dari program kajian Forum Lenteng tentang persoalan sosial dan budaya di Indonesia melalui karya sastra Indonesia, melalui bahasa ‘audiovisual’ yang menjadi salah satu upaya pendekatannya.

Berawal dari ‘bagaimana merepresentasikan teks-teks karya cerpen Indonesia menjadi bahasa audiovisual, film’. Rangka kerja yang berlangsung sejak Januari-April 2008 ini mencoba menuturkan kembali persoalan-persoalan sosial dan budaya yang tercermin dalam teks-teks dalam cerpen yang dibuat pada masanya itu melalui pemaknaan atas situasi sosial dan budaya masyarakat di Indonesia sekarang ini. Dalam rangka kerja ini, karya cerpen tidak bertindak sebagai obyek adaptasi tetapi sebagai sumber inspirasi persoalan sosial dan budaya yang kemudian direpresentasikan ke dalam bentuk ‘audiovisual’ (film). Dengan menggunakan medium ini, partisipan mencoba melihat kemungkinan lain dari cara bertutur medium film dengan membangun konstruksi cerita yang terinspirasi dari cerpen.

Cerpen-cerpen yang menjadi subjek kajian dalam proyek CERPEN UNTUK FILEM adalah karya empat penulis utama di Indonesia yaitu; cerpen “Sybil” karya Umar Kayam (dalam buku Seribu Kunang-Kunang di Manhattan), “Secangkir Kopi dan Sepotong Donat” karya Umar Kayam (buku Seribu Kunang-Kunang di Manhattan), “Yorrick” karya Budi Darma (buku Orang-Orang Bloomington), “Keluarga M” karya Budi Darma (buku Orang-Orang Bloomington), “Pembotakan Terakhir” karya AA Navis (buku Robohnya Surau Kami) dan “Karjan dan Kambingnya” karya Hamsad Rangkuti (buku Sampah Bulan Desember).

Pemilihan cerpen-cerpen tersebut di atas berdasarkan tema sosial yang diangkat di dalamnya seperti; keterasingan, sejarah dan memori kolektif, dan perspektif massa dalam melihat persoalan sosial dalam individu-individu di dalamnya.

Karya

Selama empat bulan proyek CERPEN UNTUK FILEM, menghasilkan sembilan film pendek yaitu:

SUARA KOTA (14 menit)
Sutradara Syaiful Anwar
Terinspirasi dari cerpen Sybil karya Umar Kayam, dalam buku Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, PT Pustaka Utama Grafiti, 2003

LINGKARAN X (9 menit)
Sutradara Bagasworo Aryaningtyas
Terinspirasi dari cerpen Yorrick karya Budi Darma, dalam buku Orang-Orang Bloomington, Metafor Intermedia Indonesia, 2004

DISKO PLASTIK (23 menit)
Sutradara Gelar Agryano Soemantri & Mirza Jaka Suryana
Terinspirasi dari cerpen Yorrick karya Budi Darma, dalam buku Orang-Orang Bloomington, Metafor Intermedia Indonesia, 2004

INTERIOR KACA (17 menit)
Sutradara Otty Widasari
Terinspirasi dari cerpen Yorrick karya Budi Darma, dalam buku Orang-Orang Bloomington, Metafor Intermedia Indonesia, 2004

MARIA (16 menit)
Sutradara Fuad Fauzi
Terinspirasi dari cerpen Pembotakan Terakhir karya AA Navis, dalam buku Robohnya Surau Kami, Gramedia Pustaka, cetakan 13, 2007

PEGGY KEMANA KAU SEMALAM? (14 menit)
Sutradara Arissa Afridayanti R.
Terinspirasi dari cerpen Secangkir Kopi dan Sepotong Donat karya Umar Kayam, dalam buku Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, PT Pustaka Utama Grafitti, 2003

SECANGKIR COPY PASTE DAN CELL (19 menit)
Sutradara Maulana M. Pasha
Terinspirasi dari cerpen Secangkir Kopi dan Sepotong Donat karya Umar Kayam, dalam buku Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, PT Pustaka Utama Grafitti, 2003

M / (25 menit)
Sutradara Ajeng Nurul Aini
Terinspirasi dari cerpen Keluarga M karya Budi Darma, dalam buku Orang-Orang Bloomington, Metafor Intermedia Indonesia, 2004

BALADA HARI RAYA (18 menit)
Sutradara Riezky Andhika Pradana
Terinspirasi dari cerpen Karjan dan Kambingnya karya Hamsad Rangkuti, dalam buku Sampah Bulan Desember, Penerbit Buku KOMPAS, 2000


Menonton Duo Kribo

Oleh Anib Basatada Wicaksono & Riezky Andhika Pradana |

Jumat, 26 Maret 2010

Apakah anda mengenal Giring ‘Nidji’ atau Edi Brokoli? Ya, Keduanya memang musisi berambut kribo yang tampil eksentrik, namun yang dimaksud Duo Kribo bukanlah mereka berdua.

Neraka Jahanam

Neraka Jahanam

Kalau begitu, apakah anda mengenal lagu ‘Neraka Jahanam’, lagu rock lawas Indonesia yang sempat dipopulerkan kembali oleh Boomerang dan di trash-kan oleh Suckerhead. Apakah anda juga mengenal lagu ‘Dunia Panggung Sandiwara’ yang liriknya ditulis oleh Taufik Ismail, salah satu penyair mashyur Indonesia. God Bless sering membawakan lagu tersebut di setiap kali pementasan mereka. Lagu tersebut juga pernah dipopulerkan kembali oleh Grace Simon, Nicky Astria, (alm) Nike Ardilla, Ramli Syarif (rocker Singapura), hingga Sheila On 7.

“Duo Kribo”

Ya, lagu-lagu tersebut adalah milik Duo Kribo, duet maut dua musisi rock papan atas di tahun 70-an. Mereka adalah Achmad Albar dan Ucok Harahap.
Kolaborasi ini muncul ketika AKA (Apotik Kali Asin), grup rock pimpinan Ucok pecah. Kebetulan Achmad Albar dengan God Bless-nya mulai sepi order manggung. Duet Duo Kribo cukup berhasil dan meledak di pasaran sampai albumnya terjual 100.000 kaset.

Keberhasilan album-album mereka didasarkan pada rasa penasaran para pecinta musik rock. Mereka ingin tahu seperti apa kalau duo superstar bersatu dalam satu album rekaman. Hasilnya adalah tiga album Duo Kribo Volume I, II dan III sepanjang tahun 1977-1978. Sebenarnya selain mereka, di tahun 1976 ada juga duo rock maut yang kebetulan juga berambut kribo. Mereka adalah sepasang sahabat, Gito Rollies dan Dedy Stanzah yang melahirkan album ‘Higher N’ Higher’ (1976) dan ‘Lepas Sensor’ (1991).

Album Duo Kribo 2

Album Duo Kribo Vol. I

Album Duo Kribo Vol. 2

Album Duo Kribo Vol. II

Album Duo Kribo Vol. III

Album Duo Kribo Vol. III

Selain meramaikan industri musik rock saat itu, Duo Kribo juga merambah dunia perfilman Indonesia. Kesuksesan album-albumnya membuat mereka dilirik oleh Perusahaan Film Intercine untuk membuat Film Duo Kribo yang dirilis tahun 1978 dan disutradarai oleh Eduard Pesta Sirait yang menampilkan Achmad Albar, Ucok Harahap, Grace Simon, dan Eva Arnaz.

Film ini bercerita tentang kembalinya Achmad Albar setelah lulus cumlaude dari sebuah konservatori di Eropa. Dia lalu memainkan musik rock, seperti juga Ucok yang berasal dari kampung dan mengadu nasib di Jakarta untuk menggapai impiannya: penyanyi tenar dan mobil mewah. Mereka masing-masing pun menjadi tenar dan sama-sama memiliki banyak penggemar. Setelah beberapa kali terjadi persaingan, akhirnya mereka bertemu dan kemudian diduetkan oleh cukong musik di Indonesia.

Cover Film Duo Kribo

Cover Film Duo Kribo

Setelah hilang selama 30 tahun, copy film ini ditemukan kembali dalam format 35 mm di Inter Studio, Jakarta. Pada 14 Maret 2010 yang lalu film ini diputar di Kineforum, Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada acara tahunan Kineforum yang bertemakan Sejarah Adalah Sekarang 4. Pada kesempatan ini Eduard Pesta Sirait selaku sutradara hadir dan memberikan kata sambutan diawal pemutaran. Ia mengaku tidak begitu menggemari musik rock dan tidak begitu suka dengan film yang digarapnya ini, namun ia tetap mengerjakannya dengan profesional. Cukup banyak penonton yang hadir, bahkan menurut pandangan mata kami, seluruh kursi terisi penuh. Pemutaran ini tidak dipungut biaya apapun. Di sepanjang pemutaran banyak sekali adegan dan dialog yang lucu, terutama lewat gaya nyentrik Ucok ‘AKA’ Harahap yang membuat para penonton tertawa.

Film ini diproduksi atas dasar sejarah musik rock Indonesia yang dahulu begitu terkenal dengan meledaknya lagu-lagu Godbless dan AKA yang akhirnya membawa perubahan style dan memberikan warna baru pada kaum muda Indonesia. Di film ini juga terbaca bahwa seniman musik dahulu masih diatur bahkan dikendalikan oleh cukong industri. Hal itu terlihat dalam adegan ketika cukong menghitung menggunakan kalkulator ketika Ucok dan grupnya hengkang dari perusahaan rekamannya dan ia mengganti dengan grup Achmad Albar.

Pemutaran selesai jam empat sore dan dilanjutkan dengan sesi diskusi tentang “Musik Rock, Film dan Anak Muda” yang di gelar di Teater Kecil TIM. Diskusi dimoderatori oleh Indra Ameng dan menghadirkan empat nara sumber yaitu Hikmat Darmawan (Kritikus Film), David Tarigan (Produser, Kolektor Musik) Denny Sakrie (Pengamat dan Kritikus Musik) dan Soleh Solihun (Jurnalis Musik- Rolling Stone).

Reuni Ucok Harahap dan Achmad Albar

Reuni Ucok Harahap dan Achmad Albar

Pada kesempatan ini David Tarigan banyak bercerita tentang sejarah musik di Indonesia. Sebelum musik rock terkenal dan booming-nya Godbless maupun AKA, musik era itu sudah dimulai oleh Usmar Husni yang menyanyikan lagu Bengawan Solo dengan irama rock. Hal ini ia lakukan karena pada jaman pemerintahan Soekarno para musisi dilarang menyanyikan lagu barat karena dianggap propaganda Amerika dan kapitalisme.

Menurut Hikmat Darmawan, film ini dibuat mengingat pertemuan superstar musik rock pada masa itu dalam satu panggung. Idenya muncul dari salah seorang wartawan dan dijalankan di beberapa kota besar. Acaranya disponsori oleh perusahaan rekaman musik di negeri ini mengingat banyaknya keuntungan yang akan diraup. Pada diskusi ini juga ada sesi tanya jawab dan hanya sedikit peserta yang bertanya. Prima Rusdi, seorang penulis buku, penulis skenario film dan serta produser juga ikut dalam acara diskusi. Ia bertanya kepada para narasumber mengenai pengaruh stasiun pemancar radio di era tersebut dalam perkembangan musik rock di Indonesia. Denny Sakrie, salah seorang narasumber menjawab:

”Ya, saya akan menjawab pertanyaan ini berhubung saya dan Prima dulu pernah bekerja di Radio. Jaman dahulu berbeda seperti yang sekarang, industri musik rock kurang begitu dapat perhatian dari kalangan media. Hal ini dikarenakan kurangnya tanggapan masyarakat umum terhadap jenis musik ini. Karena musik ini lebih identik dengan anak muda dan perlawanan, sehingga masyarakat kurang menyukainya. Pada jaman itu, baik di media televisi maupun radio masih ada sistim seleksi penyiaran yang didampingi TNI untuk layak dipublikasikan, hanya sedikit musik rock yang dapat diputar di radio. Saat itu, dalam satu album ada dua atau beberapa lagu yang benuansa rock, selainnya hanya lagu-lagu yang seperti Kangen band atau ST 12,” jelasnya.

“Neraka Jahanam”

Semua yang ikut dalam diskusi itu pun tertawa. Tak lama kemudian disambung lagi pertanyaan dari seorang peserta diskusi “Apa bedanya antara film Duo Kribo dengan Realita, Cinta dan Rock’n Roll, dan tolong sebutkan 10 grup band rock yang masuk chart tangga lagu?” Tak lama kemudian Hikmat Darmawan mengatakan bahwa film Duo Kribo lebih bagus dari pada film Realita, Cinta dan Rock’n Roll. Kenapa? Karena menurutnya dalam film ini kita bisa mendapatkan banyak sekali informasi bahwa dalam persaingan grup rock zaman dahulu untuk bisa mendapatkan gelar superstar, mereka saling sabotase dan mematikan grup musik sainganya. Dan juga bahwa grup band pada zaman dulu masih dicukongi oleh industri dan diatur agar dapat keuntungan yang lebih. Lain halnya dengan grup musik rock jaman sekarang yang mayoritas bermain untuk kesenangan pribadi. Mereka banyak yang terjun ke jalur independen. Adapun yang masuk ke dapur rekaman dan televisi biasanya hanya beberapa lagu dalam satu album seperti yang pernah dialami pendahulu musik rock. “Untuk chart 10 band rock teratas lebih baik kita bahas sendiri aja setelah acara ini ya mas,” kata Denny Sakrie. Setelah puas dengan jawaban yang diberikan, acara diskusi pun berakhirpada jam 7 malam.

Gito Rollies dan Dedy Stanzah

Gito Rollies dan Dedy Stanzah

Tahun 2001, Duo Kribo sempat muncul mengisi acara di salah satu stasiun televisi swasta. Mereka bahkan pernah menyatakan akan rekaman lagi. Namun sayang, itu semua hanya khayalan. Pada Desember 2009 lalu Ucok ‘AKA’ Harahap, meninggal di Rumah Sakit Dharmo, Surabaya, Jawa Timur, dalam usia 70 tahun. Kanker paru-paru stadium 4 telah menggerogoti tubuhnya.

Kini Duo Kribo memang mustahil untuk beraksi. Yang tersisa hanya tiga dari enam kribo setelah Ucok ‘AKA’ Harahap, Gito Rollies dan Dedy Stanzah meninggal dunia. Kini tinggal apakah cukong industri musik kita mau menduetkan Achmad Albar dengan Edi Brokoli atau Giring ‘Nidji’? atau Giring Nidji dan Edi Brokoli diduetkan menjadi Neo Duo Kribo? Tapi kami rasa hasilnya akan basi.

Giring 'Nidji' dan Edy Brokoli

Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas

Oleh Riezky Andhika Pradana | Pada Rabu, 24 Maret 2010
* * *

Untuk melakukan pemetaan komunitas film Indonesia dan mencatat keberhasilan kerja dan tantangan nyata yang dihadapinya serta memperkuat jaringan yang telah terbentuk sebelumnya, pada 17-20 Maret 2010 yang lalu, akumassa Forum Lenteng diundang untuk menghadiri Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas di Taman Budaya Surakarta, Solo – Jawa Tengah. Acara ini dihadiri oleh Komunitas-komunitas Film di Indonesia baik yang memiliki kelengkapan legal-formal, maupun tidak. Tercatat 42 Komunitas yang hadir diantaranya Mafvie-fest Malang, matakaca Solo, Oengoe Cinema, Sangkanparan, Studio gambargerak, Yayasan Konfiden, Blender Indonesia, Boemboe.org, Cinematography Club Fikom Unpad, CLC Purbalingga, Falling Star Picture, Kineforum DKJ, Kinoki Jogja, Forum Lenteng dan lain sebagainya.

Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas
Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas

Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas
Kongres Nasional Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas

Untuk memenuhi undangan ini, sehari sebelum acara, kami bertiga di antaranya saya, Otty Widasari dan Mahardika Yudha berangkat dari Stasiun Gambir Jakarta jam 8 malam dan tiba di Stasiun Solo Balapan jam 4.30 WIB dini hari. Setibanya di sana kami dijemput oleh panitia menuju lokasi. Cukup puas dengan istirahat selama beberapa jam, acara pun dimulai dengan pembukaan Stadium Generale ‘Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas 1998-sekarang’. Setelah itu acara dilanjutkan dengan kelas kegiatan perfilman yang terbagi tiga kelas pada waktu yang sama, berupa diskusi dan presentasi di tempat yang berbeda. Kelas tersebut di antaranya ‘Mengelola Program Pemutaran Film’, ‘Kesinambungan Festival Film & Kompetisi’ dan kelas presentasi oleh Matakaca Solo.

Program pemutaran film adalah salah satu kegiatan yang sering dilakukan oleh komunitas film, sebagai bagian dari program kerja mereka. Namun, seringkali ditemukan persoalan-persoalan dalam menjalankan program tersebut. Gagasan utama pembahasan di kelas ini adalah bersama-sama mengevaluasi sejauh mana program pemutaran film yang dilakukan oleh komunitas film selama ini, serta persoalan yang dihadapi dan melihat kembali kebutuhan program pemutaran film berdasarkan konteks masing-masing basis kegiatan. Setelah beberapa jam berdiskusi, dibacakaan pemetaan permasalahan yang berhasil ditangkap, di antaranya adalah masalah yang cukup klasik yaitu fasilitas, sumber film, kemudian kemampuan programming yang berkaitan dengan jumlah penonton, perizinan, fasilitas, dan sebagainya. Sebenarnya banyak masalah yang muncul di luar itu, di antaranya visi komunitas, hingga akhirnya komunitas mudah sekali gulung tikar.



Pada kelas ‘Kesinambungan Festival Film & Kompetisi’ terdapat gagasan utama pembahasan, di antaranya nilai-nilai seperti apa yang membedakan antara festival dengan kompetisi, sejauh mana festival & kompetisi yang diselenggarakan selama ini telah menemukan bentuk yang ideal, kebutuhan nyata dari penyelenggaraan festival film & kompetisi dan bagaimana mempertahankan keberlanjutan penyelenggaraan festival & kompetisi.

Di hari pertama kongres, malam harinya diadakan pemutaran film Kantata Takwa yang merupakan film dokumenter musikal Indonesia yang dirilis pada tahun 2008 arahan sutradara Eros Djarot dan Gotot Prakosa.

Pada hari ke dua, Kamis, 18 Maret 2010, sesi pertama yang dimulai pukul 09.00 – 12.00 siang terdapat Kelas Pembuatan Film yang bertema ‘Standarisasi Pengetahuan Produksi Film’ dan ‘Pemetaan Tujuan Produksi Film Non-komersil’. Di sesi ini kelas presentasi dilakukan oleh Forum Lenteng dengan ‘Proyek akumassa’nya. Pada kesempatan ini, Otty Widasari selaku redaktur jurnal akumassa memberikan presentasinya. Presentasi ini mendapat sambutan positif terlihat dari antusiasnya peserta diskusi yang mengajukan pertanyaan.

Bioskop Solo Theater Sriwedari
Bioskop Solo Theater Sriwedari
Bioskop Solo Theater Sriwedari
Bioskop Solo Theater Sriwedari
Bioskop Solo Theater Sriwedari
Bioskop Solo Theater Sriwedari

Jika dari petaan diskusi selama tiga hari, tampak permasalahan utama bahwa dari kebanyakan komunitas harus me-reidentifikasi lagi kesadaran mereka. Sebagai komunitas film, mereka punya satu permasalahan besar yaitu tidak tahu apa itu film secara mendasar, selain itu banyak dari arah tujuan mereka yang kurang jelas. Jika bergerak di bidang pendidikan, maka persoalan yang terangkat hanya berhenti di wilayah teknis. Jika di bidang pemberdayaan masyarakat, kapasitas materinya juga berhenti di wilayah teknis. Kebanyakan dari komunitas tersebut yang tidak memiliki penawaran ‘alternatif’ untuk fasilitas tempat program pemutaran, di samping banyaknya DVD bajakan yang sangat mudah didapat. Jika film sebagai media advokasi, kendala pun terjadi dari kurangnya media literacy atau pengetahuan tentang media itu sendiri.

Setelah presentasi akumassa timbul pertanyaan-pertanyaan ‘mendasar’ dalam diskusi. Karena ‘mungkin’ akumassa dianggap memiliki standar kelengkapan seperti kesadaran media, pengarsipan (teks, image, audio dan video), pengetahuan film, jalur distribusi alternatif, workshop, presentasi (pameran dan pemutaran publik), maka pertanyaan jadi berputar di wilayah metode kerja dan pembentukan program efektif sebuah komunitas.

Malam harinya seluruh peserta diskusi diajak berkunjung ke Solo Theater Sriwedari, sebuah gedung bioskop yang kini dikelola oleh matakaca. Di sana diadakan pemutaran hasil karya kawan-kawan dari Solo.

Bioskop Solo Theater Sriwedari
Bioskop Solo Theater Sriwedari

Hari ketiga, terdapat beberapa kelas yang juga terbagi dalam dua sesi. Sesi pertama ada tiga kelas diskusi yaitu kelas pembuatan film: ‘Pemetaan Alat Produksi’, Kelas Organisasi: ‘Pemberdayaan Organisasi’ dan Kelas Presentasi: ‘Distribusi film’. Setelah break makan siang, pukul 13.30 – 16.30 diadakan Kelas Organisasi: ‘Penyegaran Kembali Jaringan Komunitas Film’, Kelas Diskusi: ‘Film Sekolahan VS Non Sekolahan’ dan kelas presentasi: Kajian Film IKJ. Perlu juga dicatat bahwa pada Panel: ‘Penyegaran kembali jaringan komunitas film’ terdapat gagasan utama pembahasan, di antaranya pentingnya pemetaan kekuatan jaringan komunitas, perlunya strategi bersama untuk menjaga keberlangsungan hidup sebuah komunitas, peningkatan kapasitas organisasi/komunitas dan pencapaian tujuan bersama.

Veronica Kusuma dari Klub Kajian Film IKJ (paling kanan)
Veronica Kusuma dari Klub Kajian Film IKJ (paling kanan)
Puput Kuspujiati dari Klub Kajian Film IKJ
Puput Kuspujiati dari Klub Kajian Film IKJ

Sabtu 20 Maret 2010 adalah hari terakhir kongres ini. Di dalam pleno akhir kongres akhirnya dibentuk KELOMPOK KERJA ‘PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN JEJARING’ yang memilih 3-5 orang anggota kelompok kerja dengan mempertimbangkan faktor keterwakilan bentuk organisasi, keterwakilan ranah kerja organisasi (produksi, distribusi, eksibisi, pendidikan, pengarsipan), keterwakilan geografis (Jawa, Sumatra, Kalimantan) dan keterwakilan gender (wanita-pria). Yang terpilih adalah Dimas Jayasrana, Lulu Ratna (Boemboe.org), Pandu A. (Atma Jaya Jogja), Veronica Kusuma (Klub Kajian IKJ) dan Darma Lubis (SOI Medan). Semoga saja dengan diadakannya kongres ini dan terpilinhnya nama-nama tersebut, jaringan kerja perfilman berbasis komunitas mampu menjadikan perfilman kita menjadi lebih berbobot dan mendidik di mana saat ini penonton kita hanya disuguhi tontonan-tontonan yang hampir seragam.

Energi Positif dari Dusun Tebango

Oleh Riezky Andhika Pradana | Pada Selasa, 26 Januari 2010

Di sebuah tempat, tampak beberapa anak sedang bercanda dan bermain dan berlari-larian. Tak lama kemudian datanglah seorang pemuda yang bersahaja menegur mereka:

Pemuda: Hey…Hey.. berhenti- berhenti! Sini, kalian tahu ini tempat apa?

Anak-anak: Tempat Sembahyang.

Pemuda: Sembahyang umat apa?

Anak-anak: Buddha.

Pemuda: Bagus, di tempat sembahyang atau di tempat peribadatan lain, tidak boleh dijadikan tempat bermain, paham?

Anak-anak: Paham.

Pemuda: Kalau Umat Islam sembahnyangnya di mana?

Anak-anak: Masjid.

Pemuda: Pintar-pintar , ingat, peliharalah dan jagalah tempat peribadatan setiap agama, ngerti?

Anak-anak: Yaa…

Pemuda: Kalian main di tempat lain saja yaa!!

Anak-anak: Iyaaa…

Berikut cuplikan dialog dari salah satu adegan dalam film Sunan Kalijaga yang dibintangi Dedy Mizwar. Film yang diproduksi tahun 1984 itu mengandung pesan toleransi antar agama. Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia dan masyarakat untuk menjalankan keyakinan-NYA atau mengatur hidup dan menentukan nasibnya masing-masing. Sikap toleransi membangun kesadaran yang mantap bagi masyarakat untuk saling menghargai dan membangun Indonesia.

Vihara

Vihara Jaya Wijaya, tempat sembahyang Umat Buddha di Dusun Tebango

Toleransi antar umat beragama sangat terasa kental di Lombok Utara. Penanda-penanda dan simbol agama tampak jelas dilihat mata dan didengar telinga. Suara lantunan ayat suci Al-Qur’an menjelang adzan selalu bersahut-sahutan di udara lewat corong speaker Masjid dan Musholla. Pura dan Banjar umat Hindu beserta aktifitasnya juga tampak di sepanjang jalan. Semua ini nampak amat harmonis, hampir tanpa ada sejarah hitam pertikaian antar umat beragama di Lombok Utara.

Ketika melewati Vihara dan perkampungan Umat Buddha di Dusun Tebango, Pemenang, Lombok Utara, aku teringat akan dialog dalam film Sunan Kalijaga tersebut. Vihara tersebut dibangun kembali pada tahun 2008 atas bantuan (Pemerintah-red) Cina. Sebelumnya tempat tersebut dinamakan Pemaksan, Cetya dan akhirnya pada tahun 1983 menjadi Vihara. Dusun itu tenang, sederhana dan bersahaja. Disanalah bermukim 148 kepala keluarga dengan jumlah kurang lebih 850 jiwa yang beragama Buddha. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai buruh tani, namun setelah tahun 2000-an banyak dari mereka yang bekerja di sektor pariwisata.

Dusun Tebango

Dusun Tebango

Energi positif di Tebango

Pak Sukarman selaku Kepala Dusun Tebango mengantarkanku ke seorang Dharmaduta yang bernama Metawadi. Pria kelahiran 1979 ini mempersilakan kami duduk di berugaq rumahnya. Hampir setiap rumah di Lombok memiliki berugaq (seperti saung) yang berfungsi sebagai ruang sosial. Di belakang berugaq tampak sanggar dengan patung Sang Buddha dan lukisan beberapa Bikhu tempat beliau bersembahyang. Sehari-harinya Metawadi bertugas sebagai pengajar Agama Buddha dan Konseling di SMP 1 Pemenang dan kini masih menyelesaikan studi pascasarjananya jurusan manajemen. Dari obrolan-obrolan sederhana, akhirnya beliau menceritakan sejarah masuknya ajaran Buddha di Pemenang.

Menurutnya, pada tahun 1301 M, sempat terjadi musibah besar di Lombok, saat itu masyarakat belum punya agama. Dalam kebingungan karena faktor kemiskinan dan sebagainya, kemudian datanglah seorang dari Majapahit bernama Dhang Hyang Dwijendra yang akhirnya dikenal sebagai Dhang Hyang Semeru. Beliau berkata, jika ingin mendapat ajaran dariku maka kumpulkan masyarakat di sebuah tempat. Oleh masyarakat peristiwa berkumpul tersebut disebut Tebeng (kumpul:sasak) dan Tebango berarti berkumpul untuk mendapatkan pencerahan. Dhang Hyang Semeru mengajarkan kepada masyarakat yang terasa sampai sekarang yaitu bersinergi dengan alam, baik alam halus maupun alam manusia. Setiap hari Jumat ditaruh sesajian di tiap sudut kampung yang bernama Sanggah. Inti ajaran beliau adalah menanamkan kepercayaan kepada Shiwa Guru sebagai manifestasi Tuhan. Menurutnya Dhang Hyang Semeru beraliran Shiwa Buddha yang akhirnya oleh masyarakat sekitar dikenal dengan sebutan Budhapaksa yang berakulturasi dengan Hindu. Budhapaksa memiliki sebuah kitab bernama Kidung Kahuripan yang tidak semua orang boleh tahu. Bentuk upacaranya saat itu adalah Pujawali di sebuah tempat bernama pemaksan yang berada di atas bangunan vihara sekarang. Bahkan saat itu mereka masih merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan. Uniknya mereka tidak mau dianggap Hindu, “Kami adalah Budhapaksa,” kata mereka saat itu.

Metawadi Sang Dharmaduta

Metawadi Sang Dharmaduta

Sanggar tempat sembahyang

Sanggar tempat sembahyang

Dari beberapa literatur yang saya temukan, menurut Babad Lombok yang berpengantar bahasa Jawa Kuno (Kawi), agama pertama orang Lombok adalah Wratsari (suatu bentuk agama asli Sasak pada waktu lampau, seringkali disebut Buda bukan Buddha). Ketika ditanyakan mengenai sejarah Wratsari, Metawadi mengaku kurang paham masalah tersebut. “Tetapi jika digali lebih dalam, tentunya akan kembali ke Budhapaksa,” tuturnya. Sedangkan menurut Babad Lombok yang disalin pada tahun 1972, seperti yang ditulis Radjimo Sastro Wijono dalam tulisannya “Rumah Adat dan Minoritasisasi” dikatakan bahwa agama Wratsari dibawa oleh pendeta Gurundeh dari Buda Klin.

Di Babad Lombok terdapat mukadimah bertutur mengenai Nabi Adam dan Hawa:

Sepeninggal Nabi Adam, para iblis melakukan propaganda besar-besaran untuk menyesatkan umat manusia. Iblis-iblis ini mengatakan kepada umat manusia bahwa mereka sudah bertemu dengan Nabi dan mendapat pesan dari Nabi Adam untuk manusia. Isi pesan tersebut ialah barang siapa yang hendak bertemu dengan Nabi Adam hendaklah ia mendirikan sanggah, sanggar serta sesaji. Babi, anjing, tuak dan brem dihalalkan semua. Ajaran ini kemudian disebut wratsari, dibawa oleh Pendeta Gurundeh dari Buda Klin. Maka banyaklah umat manusia yang terseret ke dalam ajaran iblis.

Artinya, kalau menurut keterangan dari babad, dapat diduga bahwa sebelum datangnya orang-orang Jawa semasa akhir kerajaan Majapahit, masyarakat yang memeluk Agama Buda sudah ada. Agama asli masyarakat Lombok ini dalam perkembangannya sampai sekarang sering juga disebut Agama Buda (dalam penulisan sering ditulis bode, bodo, bude) atau Buda Keling, atau agama nenek moyang, atau Agama Majapahit.

Sanggah yang terdapat di setiap sudut kampung

Sanggah (tempat menaruh sesajian) yang terdapat di setiap sudut kampung

Bergantinya Orde Lama ke Orde Baru berpengaruh besar terhadap struktur masyarakat Lombok, termasuk pada masyarakat Buda. Sejak tahun 1969 program Pembangunan Lima Tahun (PELITA) Negara menghegemoni bahkan mengintervensi kehidupan masyarakat dalam beragama. Negara hanya mengakui lima agama seperti yang kita pelajari di bangku sekolah. Sedangkan agama-agama Nusantara warisan nenek moyang dianggap penyembah pohon, pemuja setan, atheis, PKI dan sebagainya. Masyarakat diwajibkan memeluk agama seperti yang tertulis dalam KTP (Kartu Tanda Kependudukan) agar aktivitasnya bisa dikontrol oleh Negara.

Pada tahun 1970-an masuklah seorang tokoh agama Buddha yang berasal dari Cakra Negara, Mataram bernama Komang Gede Dharma Susela yang mengajarkan inti ajaran Buddha yang sebenarnya. Dalam Agama Buddha ada beberapa hari penting yang diperingati di antaranya : Hari Magha Puja, Hari Waisak, Hari Asadha dan Hari Kathina. Dalam memperingati hari-hari tersebut mereka melaksanakan puja bakti. Sampai saat ini puncak keharmonisan Umat Buddha di Dusun Tebango terjadi setiap bulan sepuluh pada malam bulan purnama penuh. Saat itulah mereka mangadakan Tradisi Kathina. Umat Buddha di mana saja mereka berada, meski hidupnya dalam keadaan ekonomi lemah, sebaiknya berusaha untuk ikut berdana di hari Kathina, dana dapat berbentuk barang atau uang, meskipun nilainya kecil asal disertai dengan keyakinan, berarti benih-benih kebaikan telah ditanam. Mereka kumpul makan bersama dan tidur di mana saja di sebuah dusun diatas bukit yang berpenduduk 67 kepala keluarga. Dusun itu bernama Tebango Bolot.

Bawi (babi), binatang ternak yang banyak dipelihara warga Tebango

Bawi (babi), binatang ternak yang banyak dipelihara warga Tebango

Di Dusun Tebango ini banyak saya jumpai bawi (babi) yang dipelihara di rumah-rumah, namun menurut Metawadi hanya sekitar sepuluh kepala keluarga dan kalangan tua saja yang masih mengkonsumsi babi, sedangkan banyak kalangan muda yang sudah belajar agama tidak lagi mengkonsumsinya. Metawadi sendiri tidak mengkonsumsi babi dan binatang berkaki empat karena memang itu tidak dianjurkan oleh agama Buddha. Metawadi adalah seorang yang selalu membangun sinergi, tidak hanya dengan manusia tetapi dari alam yang paling rendah sampai alam tertinggi. Obrolan pun berlanjut ke perbincangan yang ‘lebih dalam’ sampai beberapa jam kemudian. Tak lama kemudian adzan maghrib bergema dari corong speaker Masjid terdekat, meminta saya untuk memenuhi panggilanNya. Setelah berpamit untuk bergegas pulang, saya teringat akan kisah pertemuan antara Syekh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging di pulau Jawa yang berdiskusi masalah ’spiritualitas’. Walaupun Ki Ageng Pengging pemeluk Shiwa Buddha dan Syekh Siti Jenar pemeluk Islam, tapi pada ujung-ujungnya, esensi spiritualitas yang mereka dalami adalah sama. Obrolan hangat ini berakhir dengan rencana diadakannya workshop video di halaman Vihara yang disambut dengan hangat oleh Pak Kadus (Kepala Dusun).


Komentar

  1. ref.... mengatakan:

    ikut sundul aja gan…

  2. chelle mengatakan:

    Gw baru tahu profil orang sana. Interesting Kikie! Terima kasih ya.. Keep up the good work and keep sharing us your writing! ;)

  3. lola_2713 mengatakan:

    Inget waktu jaman kuliah dulu pas lagi Matkul Sejarah Nasional Indonesia I, dosen gue di pertemuan pertama nanya “Antara Hindu dan Budha, mana yang masuk terlebih dahulu?” waktu itu gue ma temen2 gue kompak bilang “Hindu” eh diketawain ma dosen gue dia bilang “Budha tapi ga berkembang di Indonesia sampe akhirnya masuk Hindu, baru stelah di India terjadi perubahan baru masuk lagi ke Indonesia” jadi ga heran gue kalo di Tebango ada yang namanya Wratsari yang disebut Buda dan lebih cenderung ke Budha dari pada Hindu..,

    Indonesia mang Amazing yak?

  4. clara angelina mengatakan:

    Menlu Italia, Franco Frattini pernah mengatakan di Roma bahwa Indonesia merupakan Laboratorium kerukunan beragama yag baik .. semoga aja pujian ini gak ngebuat masyarakat indonesia ga terlena dan tetap mawas diri karena kerukunan beragama bersifat dinamis yang mudah berubah. tentunya kita juga berharap kerusuhan bernuansa SARA yang pernah terjadi di beberapa daerah beberapa tahun lalu tidak akan terulang lagi.Indonesia akan jauh lebih indah jika penuh warna akan perbedaan2 tersebut, khan sm seperti semboyan kita bhinneka tunggal ika ..


Workshop Kilat Media Komunikasi di Pondok Pesantren Banu Sanusi

Kamis, 28 Januari 2010

Kehidupan saat ini memaksa kita untuk menjadi manusia yang multifungsi dan mampu bersaing dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang informasi. Karena bagaimanapun kemajuan itu harus didukung dengan kemajuan dalam bidang tersebut. Untuk menciptakan generasi yang mampu bersaing, pada Rabu, 27 Januari 2010 Forum Lenteng bekerjasama dengan Ma’had Diniyah Banu Sanusi mengadakan workshop media komunikasi yang spesifik pada karya jurnalistik dan video. Kajian jurnalistik seperti ini tergolong sangat bermanfaat sekali sebagai penambah wawasan dan pengetahuan, terutama mengenai jurnalistik dan media komunikasi.

Workshop Kilat di Ponpes Banu sanusi

Acara ini dilaksanakan di sebuah ruang belajar yang juga befungsi sebagai Mushola Pondok Pesantren Banu Sanusi. Cuaca yang panas tidak mengurangi minat para santri dalam mengikuti kegiatan yang dimulai pada pukul 11.00 WITA tersebut. Riezky Andhika Pradana (Kikie Pea) dan Gelar Agryano Soemantri dari Forum Lenteng bertindak sebagai pemateri. Mereka dengan semangat memberikan penjelasan kepada para peserta workshop yang terdiri dari para santri Tsanawiyah dan Aliyah (setingkat SMP dan SMU).

Kajian ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama mengenai jurnalistik dan media komunikasi, sedangkan yang kedua mengenai video. Sesi pertama menjelaskan tentang proses dan jenis-jenis media komunikasi yang dilanjutkan dengan jenis-jenis karya jurnalistik. Sebelum istirahat makan siang dan sholat Dzuhur, para peserta diberi tugas membuat contoh berita singkat (spot news) sesuai dengan apa yang diterangkan sebelumnya.

Workshop Kilat di Ponpes Banu sanusi

Workshop Kilat di Ponpes Banu sanusi

Sesi kedua dilanjutkan dengan pemutaran Massroom Project (project karya video Forum Lenteng tentang Kota Jakarta), diantaranya Jakarta 24, B, dan Secreenry. Para Santri terkejut manakala disuguhkan film yang tidak biasa mereka tonton. Awalnya banyak para peserta mengira akan diputarkan film yang akrab di mata mereka. Namun, ketika melihat tayangan video tentang kereta api banyak yang mengatakan bahwa mereka pusing setelah melihat itu, dan banyak yang spontan mengatakan “MasyaAllah” ketika mendengar suara-suara yang mengagetkan. Maklum saja, di Lombok jarang terjadi polusi suara dari sarana transportasi seperti kereta atau bajaj.

Workshop Kilat di Ponpes Banu sanusi

Workshop Kilat di Ponpes Banu sanusi

Sempat juga banyak yang keluar dari ruangan pertemuan karena terkendala dengan pemadaman listrik yang sering terjadi di wilayah Gunungsari. Namun, selang beberapa jam listrik kembali menyala dan para peserta berdatangan untuk menyaksikan video yang akan diputar. Banyak juga yang asyik mendengarkan musik pengiring video yang cukup mampu membuat kaki dan kepala bergoyang. Salah seorang peserta menanyakan perbedaan antara karya dokumenter dengan karya fiksi. Selain dijawab dengan lugas oleh para pemateri, untuk memperjelas peserta disuguhkan film “Balada Hari Raya” (karya Riezky Andhika Pradana) sebuah film fiksi yang terinspirasi dari cerpen Hamsad Rangkuti.

Antusias para santri dalam membuat tugas berita spot news

Antusias para santri dalam membuat tugas berita spot news

Workshop Kilat di Ponpes Banu sanusi

Setelah penayangan film, Mas Kikie Pea menjelaskan tentang film yang baru saja diputar. Sehingga para peserta mengerti tentang film tersebut. Beberapa peserta dengan antusiasnya mengacungkan tangan ketika diberi kesempatan untuk bertanya.

Semoga kegiatan seperti ini terus berlangsung. Rencananya, Komunitas Pasir Putih akan mengadakan workshop video di Pondok Pesantren Banu Sanusi di kemudian hari.


Komentar

  1. Gozali mengatakan:

    Assalamu’alaikum Pak Ust. sekalian olah roso… antisipasi pemadaman dengan cahaya dari jemarimu

  2. jaeezaa clara azzahra mengatakan:

    good .. good .. good !!
    mempertajam seni menuangkan gagasan ..

  3. harry potter mengatakan:

    kiki ama gelar, lo berdua tetap aja tinggal di lombok bantu aku ngajar di lembaga ku LP3M, ntar aku bikinin rumah dan cariin pendamping alias istri yang solehah dari pondok pesantren sepulau lombok

    deal ye!!!! he he he

  4. renal r. kasturi mengatakan:

    Wah tuh santri senyum simpul apa karna maerinya atau sama Kiki Pea yg nyentrik…

  5. aconk mengatakan:

    mantab, besok ngajar ngaji ya di forlent

  6. mantap mengatakan:

    pematerinya kyak lagi ngasi musik rock..hehehe
    celana sempit baju ketat..^^

  7. andangkelana mengatakan:

    keren banget nih! blackboards-nya Makhmalbaf.

  8. roker tobat mengatakan:

    ini berkat cup cup ring, kwaci 3 dan dankow 1 plus

  9. soemantri,entis mengatakan:

    salam ki kanjeng beserta dayang adipati.. miss yu cupcup ring, ..

  10. otty mengatakan:

    kata ki kanjeng UTM, penemuan2 teoritis berasal dari papan tulis hitam dan kapur. kenapa orang2 di india pintar2 dan menguasai lbih nyaris 50 persen jabatan intelektual di USA? karena mereka sekolah dengan menggunakan papan tulis dan kapur serta sekolah di sana sangat-sangat murah. apalagi kalau gratis seperti yang dilakukan teman2ku di lombok ini.